Rabu, 12 Mei 2010

BI segera bahas SDM perbankan syariah

Sumber Daya Manusia (SDM) masih menjadi salah satu tantangan bagi industri perbankan. Demikian pernyataan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Muliaman D. Hadad, di Jakarta, pagi ini.

Untuk itu, BI akan segera memanggil para Chief Executive Officer (CEO) perbankan syariah guna membahas berbagai kendala yang terjadi di perbankan syariah. "Besok Jumat (23/4), saya akan bertemu dengan CEO-CEO bank syariah. Salah satunya membahas mengenai SDM," kata Muliaman.

Saat ini, lanjut Muliaman, potensi perbankan syariah luar biasa. Memang, industri perbankan syariah masih sebesar 3 persen dari total aset perbankan di Indonesia.

"Namun, pertumbuhan perbankan syariah tahun lalu mencapai 30 persen. Tahun ini saya kira masih akan tetap tumbuh setidaknya 30-40 persen. Para pemain baru juga akan masuk seperti BNI Syariah, Bank Jabar-Banten, dan Maybank Indocorp," ujar Muliaman.

Dia bilang, sayangnya pertumbuhan itu tak diimbangi oleh SDM bank syariah yang memadai. "Kita memang masih kekurangan bankir-bankir syariah. Tak heran jika ada sumber daya yang pindah-pindah ke bank lain," tegasnya.

Selain SDM, hal lain yang masih perlu dibahas adalah Teknologi Informasi (TI), pengembangan produk, dan komunikasi di kalangan praktisi perbankan syariah. Muliaman menjelaskan, IT sangat dibutuhkan untuk peningkatan layanan terhadap nasabah.

Pada pengembangan produk, Muliaman berharap, perbankan syariah mampu lebih optimal di bidang inovasi produk syariah. "Saat ini produk-produk bank syariah masih sederhana, dengan mengandalkan prinsip-prinsip jual-beli. Padahal, sebenarnya, cakupan produk bank syariah ini lebih banyak dari bank umum. Ini yang belum banyak kita dalami," tegas Muliaman.

Sementara dalam hal komunikasi, Muliaman meminta perbankan syariah lebih meningkatkan dan menguatkan komunikasi di antara sesama bank syariah. Pembentukan jaringan komunikasi berlandaskan kekeluargaan sangat diperlukan untuk makin menopang pertumbuhan industri perbankan.

BI Optimis Aset Syariah Capai Rp 70 T

Bank Indonesia (BI) optimis hingga akhir tahun 2009 dapat membukukan total aset syariah hingga Rp 70 triliun yang didukung oleh penerbitan sukuk.
Demikian dikatakan Direktur Perbankan Syariah BI Ramzi A.Zuhdi, di Gedung BI, Jumat (7/8). "Dengan adanya asumsi Rp 1 triliun per bulannya, maka kita optimis dapat mencapai (aset) Rp 65-70 triliun akhir tahun," ujarnya.
Ramzi memaparkan, pada awal tahun 2009 pihaknya hanya menargetkan total aset syariah sebesar Rp 60-65 triliun hingga akhir tahun. "Dengan kondisi saat ini, bisa lebih baik dari yang diperkirakan. Sekarang kan sudah hampir Rp 60-an triliun, masih ada 6 bulan lagi dan saya kira tercapai," jelasnya.
Keoptimisan tersebut didukung dengan diterbitkannya sukuk yang ditargetkan mampu menyerap dana pihak ketiga (DPK) untuk masuk ke perbankan syariah. "Sukuk saja bunganya sekitar 12% sebelum pajak, BI rate dibawah 7 saat ini. Nantinya pasti akan banyak yang tertarik kesitu, itu menarik kan untuk tahun ini," katanya.
Selain itu, akan didukung juga dengan adanya pertumbuhan dari bank-bank syariah yang ditargetkan 30% per tahunnya. "Pertumbuhan syariah di luar dugaan saya, misalnya Muamalat. Awal tahun (aset) mereka hanya Rp 12 triliun, sekarang sudah sekitar Rp 17 triliun," paparnya.
Sementara untuk tahun depan, BI lebih optimis lagi akan pertumbuhan perbankan syariah karena banyak bank-bank syariah baru yang akan mulai beroperasi. "Pertumbuhan tinggi harapannya di 2010," ujarnya.
Beberapa yang telah mendaftar sebagai bank syariah ke BI antara lain Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Panin, Bank NISP, Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Banten, dan Bank Central Asia. "Kalau sekarang belum ada lagi yang masuk ke kita," pungkasnya. [mre/hid]

Selasa, 04 Mei 2010

Istilah Perbankan Syariah

Akad: Ikatan atau kesepakatan antara nasabah dengan bank yakni pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. Misalnya, akad pembukaan rekening simpanan atau akad pembiayaan.


Mudharabah: Akad yang dilakukan antara pemilik modal (shahibulmal) dengan pengelola (mudharib). Pada saat awal, bagi hasil atau nisbah disepakati. Sedangkan, kerugian ditanggung pemilik modal.

Musyarakah: Akad antara dua pemilik modal atau lebih untuk menyatukan modalnya pada usaha tertentu. Sedangkan, pelaksanaannya bisa ditunjuk salah satu dari mereka. Akad ini diterapkan pada usaha/proyek yang sebagiannya dibiayai oleh lembaga keuangan. Sedangkan, selebihnya dibiayai oleh nasabah.

Distribusi Bagi Hasil: Pembagian keuntungan bank syariah kepada nasabah simpanan berdasarkan nisbah yang disepakati setiap bulannya. Bagi hasil yang diperoleh tergantung jumlah dan jangka waktu simpanan serta pendapatan bank pada periode tersebut. Besarnya bagi hasil dihitung berdasarkan pendapatan bank (revenue) sehingga nasabah pasti memperoleh bagi hasil dan tidak kehilangan pokok simpanannya.

Nisbah: Porsi bagi hasil antara nasabah dan bank atas transaksi pendanaan dan pembiayaan dengan akad bagi hasil (mudharabah dan musyarakah).

Bai'almuthlaq: Jual beli biasa yaitu penukaran barang dengan uang. Uang berperan sebagai alat ukur. Bai'almuthlaq dilakukan untuk pelaksanaan jual beli barang keperluan kantor (fixed assets). Jual beli seperti ini menjiwai semua produk yang didasarkan pada transaksi jual beli.

Sharf: Jual beli mata uang asing yang saling berbeda seperti rupiah dengan dollar, dollar dengan yen. Sharf dilakukan dalam bentuk bank notes dan transfer, menggunakan nilai kurs yang berlaku pada saat transaksi.

Muqayyad: Jual beli dengan pertukaran yang terjadi antara barang dengan barang atau barter. Jual beli semacam ini dilakukan sebagai jalan keluar bagi ekspor yang tidak bisa menghasilkan mata uang asing (valas).

Murabahah: Akad jual beli tempat harga dan keuntungan disepakati antara penjual dan pembeli. Jenis dan jumlah barang juga dijelaskan rinci. Barang diserahkan setelah akad jual beli dan pembayaran bisa dilakukan secara mengangsur atau mencicil atau sekaligus.

Salam: Jual beli dengan cara pemesanan. Pembeli memberikan uang terlebih dahulu terhadap barang yang telah disebutkan spesifikasinya. Lalu, barang dikirim kemudian.Salam biasanya dipergunakan untuk produk pertanian jangka pendek. Dalam hal ini lembaga keuangan bertindak sebagai pembeli produk dan memberikan uangnya lebih dulu. Sedangkan, nasabah menggunakan uang itu sebagai modal untuk mengelola pertaniannya.

Istishna': Jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang berdasarkan persyaratan serta kriteria tertentu. Sedangkan, pola pembayaran dapat dilakukan sesuai kesepakatan (dapat dilakukan di depan atau pada saat pengiriman barang).

Mudharabah Muqayyadah: Akad yang dilakukan antara pemilik modal untuk usaha yang ditentukan oleh pemilik modal (shahibumal) dengan pengelola (mudharib). Nisbah atau bagi hasil disepakati di awal untuk dibagi bersama. Sedangkan, kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Dalam terminologi bank syariah, hal ini disebut special investment.
Musyarakah Mutanaqisah: Akad antara dua pihak atau lebih yang berserikat atau berkongsi terhadap suatu barang. Lalu, salah satu pihak membeli bagian pihak lain secara bertahap. Akad ini diterapkan pada pembiayaan proyek oleh lembaga keuangan dengan nasabah atau lembaga keuangan lainnya. Dalam hal ini, bagian lembaga keuangan secara bertahap dibeli pihak lainnya dengan cara mencicil. Akad ini juga terjadi pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil. Sedangkan, usaha itu berjalan terus dengan modal yang tetap.

Wadi'ah: Akad yang terjadi antara dua pihak. Pihak pertama menitipkan suatu barang kepada pihak kedua. Lembaga keuangan menerapkan akad ini pada rekening giro.

Wakalah: Akad perwakilan antara satu pihak kepada pihak lainnya. Wakalah biasanya diterapkan untuk pembuatan letter of credit (L/C) atas pembelian barang di luar negeri atau penerusan permintaan.

Ijarah: Aka sewa menyewa barang antara kedua belah pihak untuk memperoleh manfaat atas barang yang disewa. Akad sewa yang terjadi antara lembaga keuangan (pemilik barang) dengan nasabah (penyewa) dengan cicilan sewa yang sudah termasuk cicilan pokok harga barang. Sehingga, pada akhir masa perjanjian, penyewa dapat membeli barang tersebut dengan sisa harga yang kecil atau diberikan saja oleh bank. Karena itu, biasanya ijarah dinamai "al ijarah waliqina" atau "al ijarah alMuntahia Bittamilik".

Kafalah: Akad jaminan satu pihak kepada kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan, biasanya, digunakan untuk membuat garansi atas suatu proyek (performance bond), partisipasi dalam tender (tender bond), atau pembayaran lebih dulu (advance payment bond).

Hawalah: Akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan, hawalah, diterapkan pada fasilitas tambahan kepada nasabah pembiayaan yang ingin menjual produknya kepada pembeli dengan jaminan pembayaran dari pembeli tersebut dalam bentuk giro mundur. Ini lazim disebut post date check namun disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.

Rahn: Akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain dengan uang sebagai penggantinya. Akad ini digunakan sebagai sebagai akad tambahan pada pembiayaan yang berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang tersebut.

Qard: Pembiayaan kepada nasabah untuk dana talangan segera dalam jangka waktu yang relatif pendek dan dana tersebut akan dikembalikan secepatnya sejumlah uang yang digunakan. Dalam transaksi ini, nasabah hanya mengembalikan pokok

Minggu, 02 Mei 2010

Bank Syariah Dinilai Sulit Gantikan Bank Konvensional

JAKARTA - Fatwa haram bunga bank yang dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat Muhammadiyah tak akan berpengaruh terhadap perilaku nasabah perbankan konvensional. Perbankan syariah dinilai belum bisa menggantikan perbankan konvensional.
Menurut ekonom Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, fatwa haram bunga bank oleh Muhammadiyah tidak akan berpengaruh sama sekali. "Kalaupun ada, sangat kecil," ujarnya kepada Tempo kemarin.Nasabah, kata dia, sudah sejak dulu mengetahui bahwa bunga bank itu haram, tapi tetap saja mereka memilih menabung di bank nonsyariah. "Terlalu besar godaan untujynenabung di bank konvensional," katanya.
Sebelumnya, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank konvensional. "Bunga bank itu hukumnya riba. Sedangkan barang yang riba itu hukumnya haram. Jadi, bunga bank itu haram,"kata Wakil Sekretaris Musyawarah Nasional Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Ki Ageng Abdul Fhttah Wibisono di Malang, Jawa Timur, Minggu lalu.Purbaya mengatakan masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan sistem ekonomi Barat, sehingga bank syariah sulit menggantikan posisi bank konvensional. "Bahkan 10-20 tahun ke depan masih belum bisa," ujarnya. Dia menambahkan, "Bank syariah itu komplemen untuk orang-orang alim yang benar-benar tidak mau mendapat bunga."
Sedangkan Kepala Ekonom PT Bank BNI Tbk A. Tony Prasetiantono menyatakan pengaruh fatwa haram bunga bank tidak terlalu besar. "Ada nasabah yang akan lari ke syariah, namun masih dalam batas normal, tidak akan membuat bank konvensional kolaps," katanya.Menurut Tony, nasabah bank konvensional sampai saat ini menguasai 97 persen kegiatan perbankan. Bank syariah, kata Tony, punya kesempatan untuk memperbesar porsi-nya."Dalam waktu dekatjia-ling banyak bisa memperbesar hingga 5 persen," ujarnya. Namun Tony mengatakan, untuk menaikkan jumlah tersebut hingga 10 persen, butuh waktu lama dan tidak mudah. "Bank konvensional sudah sangat mapan, akan ada pengalihan biaya jika mau mengubah dari bank konvensional ke bank syariah," dia menambahkan.
Selain itu, dia menilai respons pasar terhadap keputusan bunga bank haram oleh Muhammadiyah tidak terlalu besar."Mungkin karena masyarakat sudah tahu bunga itu riba dan haram, jadi ini hanya semacam konfirmasi saja," katanya.Hal yang sama dikatakan Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional Swasta Sigit Pramono. Menurut dia, fatwa haram tidak menjadi masalah bagi perbankan konvensional. "Itu merupakan hak dari organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, hanya membatasi umatnya," katanya.
Menurut Sigit, tidak mungkin serta-merta nasabah bank konvensional berpindah ke bank syariah karena kesimpulan dari rapat Muhammadiyah itu. Sebab, saat ini bank syariah hanya menguasai 3 persen dari total pangsa dana pihak ketiga perbankan keseluruhan. "Bisa dibayangkan bagaimana perekonomian dapat ditopang dengan perbankan yang menguasai pangsa 3 persen," ujarnya.Realitasnya saat ini, menurut Sigit, perekonomian Indonesia masih didominasi oleh sistem bunga dan bank konvensional. "Kalau syariahnya belum komplet, malah akan menghambat," tuturnya. Kecuali, kata dia, bank sentralnya juga sudah berbentuk syariah.
Wakil Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Mohamad Sohibul Iman mengatakan fatwa haram bunga bank adalah bentuk hak Muhammadiyah dalam menyikapi fenomena masyarakat Dia menambahkan, fatwa tersebut bukan hal baru. Pasalnya, pada 1960-an, Muhammadiyah sudah mengeluarkan fatwa serupa. Namun saat itu masih ada dispensasi hanya di bank swasta bunga haram karena bank syariah hampir tidak ada. "Fatwa tentang fikih selalu dikaitkan dengan realitas," ujar Iman.

Kebutuhan SDM Bank Syariah tak Sekadar Jumlah

Irwan Kelana. Edy Setiyono
Di mata Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), A Riawan Amin, bicara soal SDM syariah bukan soal semata jumlah besar personel yangdibutuhkan. Namun, juga mengacu pada SDM yang berkarakter syariah."SDI yang dibutuhkan, menurut pandangan saya, adalah misi meyakinkan perusahaan. Ini usaha berdasarkan keyakinan. Ini yanglebih penting. Dan, ini tantangan, sekaligus butuh perjuangan," tutur Riawan, beoerapa waktu lalu.
Ia menambahkan, yang paling penting dalam upaya memenuhi kebutuhan SDM adalah mereka yang memiliki attitude dan talenta perbankan syariah. "Masalahnya, sekarang ini ada kesan kabur, mana itu bank syariah dan mana itu bank konvensional. Maka, ada tagline IB bukan sekadar bank biasa. Yang tidak biasa tentu saja, syariah," ujarnya.
Syarat utama calon SDM syariah. kata Riawan, bukan soal skil dan knowledge tentang syariah. "Basic-nya yang terpenting adalah berkarakter dan berperilaku syariah dulu," ujarnya. Soal pengetahuan tentang perbankan syariah, menurut Riawan, "Ikuti on the job training. Cukup dilatih dalam program jangka pendek. Soal skill dan knowledge an-tarorang tidak jauh beda," katanya menegaskan.
Riawan yakin, skill dan knowledge bisa dikembangkan. Industri perbankan syariah bukan ilmu roket atau industri pembuat alat perang. "Industri perbankan syariah membutuhkan attitude dan talenta. Jadi, tak sekadar orang bekerja cari uang untuk isi perut. Tapi, betul-betul mencari orang yang berkarakter dan berperilaku sesuai syariah," tuturnya.
Syarat utama SDM. kata Riawan, tentu Muslim dan siap berperilaku serta berkarakter sesuai kepribadian syariah. Menurutnya, untuk memenuhi kebutuhan SDM, seperti skenario BI, tak dibutuhkan lulusan sarjana. Untuk level pelaksana, misalnya, karyawan bagian teller, cukup lulusan Diploma-1. Level customer service cukup lulusan SMA/ SMK. Mereka bisa bekerja setelah menjalani on the job training.
Untuk tingkat officer, barulah perlu level sarjana. Dan, tak perlu harus lulusan sarjana IAIN, STAIN, atau perguruan tinggi syariah lain. "Bila perlu cari sarjana pertanian, kelautan, perkebunan, perindustrian. Sebab, mereka akan berhadapan dengan nasabah dan sektor riil," papar Riawan. SDM syariah juga butuh sarjana agama. Ini dibutuhkan untuk level dewan syariah. Namun, kebutuhannya relatif kecil. "Setiap cabang membutuhkan tiga-empat personel. Jadi, kebutuhan sangat minim untuk level Ini," katanya.
Pakar ekonomi syariah, Adiwarman A Karim, mengakui, tingkat pertumbuhan industri perbankan syariah lebih tinggi daripada pertumbuhan SDM syariah. Solusi jangka pendek adalah membajak SDM dari bank syariah lain. Atau, mengambil SDM dari bank konvensional, kemudian dididik (diberi pengetahuan) mengenai bank syariah.
"Namun, behaviour dan budaya perusahaannya (bank konvensional) tidak mungkin diubah dalam waktu singkat," kata Presiden Direktur Karim Business Consulting itu.
Langkah lain yang bisa ditempuh perbankan syariah adalah mendidik sendiri dari awal (lulusan universitas atau fresh graduate) agar menjadi SDM yang berkarakter syariahdan andal. d yeyen rosliyani

Sabtu, 01 Mei 2010

Perbankan syariah


Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

Latar belakang

Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.

Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.

Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah [[haji].

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [1].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero), Bank Rakyat Indonesia (Persero)dan Bank swasta nasional: Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Tbk).

Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. [sunting] Prinsip perbankan syariah

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain [2]:

   * Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman
dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
* Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil
usaha institusi yang meminjam dana.
* Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan
media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
* Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah
pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah
transaksi.
* Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam
islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain: [sunting] Jasa untuk peminjam dana
   * Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap
keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati.
Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibat
kan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan. [3]
* Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau
joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati
sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki
masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep
ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada
campur tangan[4]
* Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah. [5]
* Takaful (asuransi islam)
   * Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. [6]
* Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.

Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.

Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.

Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global. [sunting] Penghimpunan dana

Selain investor asing, penghimpunan dana perbankan syariah dari dalam negeri akan didongkrak penerapan office-channeling yang didasari Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006. Aturan ini memungkinkan cabang bank umum yang mempunyai unit usaha syariah melayani produk dan layanan syariah, khususnya pembukaan rekening, setor, dan tarik tunai.

Sampai saat ini, office channeling baru digunakan BNI Syariah dan Permata Bank Syariah. Sejumlah 212 kantor cabang Bank Permata di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya sudah dapat melayani produk dan layanan syariah sejak awal Maret lalu. Sementara tahap awal office channeling BNI Syariah dimulai 21 April 2006 pada 29 kantor cabang utama BNI di wilayah Jabotabek. Ditargetkan 151 kantor cabang utama BNI di seluruh Indonesia akan menyusul.

General Manager BNI Syariah Suhardi beberapa pekan lalu menjelaskan, untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan syariah, diluncurkan pula BNI Syariah Card. Kartu ini memungkinkan nasabah syariah menggunakan seluruh delivery channel yang dipunyai BNI, seluruh ATM BNI, ATM Link, ATM Bersama, dan jaringan ATM Cirrus International di seluruh dunia.

Hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah yang dilakukan BI tahun lalu menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang coba diatasi dengan office channeling.

Dana terhimpun juga akan meningkat terkait rencana pemerintah menyimpan biaya ibadah haji pada perbankan syariah. Dengan kuota 200.000 calon jemaah haji, jika masing-masing calon jemaah haji menyimpan Rp 20 juta, akan terhimpun dana Rp 4 triliun yang hanya dititipkan ke bank syariah selama sekitar empat bulan. Dana haji yang terhimpun dalam jumlah besar dalam waktu relatif pendek akan mendorong munculnya instrumen investasi syariah. Dana terhimpun itu bahkan cukup menarik bagi pebisnis keuangan global untuk meluncurkan produk investasi syariah.

Di sisi lain, suku bunga perbankan konvensional diperkirakan akan turun. Menurut Adiwarman, bagi hasil perbankan syariah yang saat ini berkisar 8-10 persen, membuat perbankan syariah cukup kompetitif terhadap bank konvensional. "Dengan selisih sekitar dua persen (dari tingkat bunga bank konvensional), orang masih tahan di bank syariah, tetapi lebih dari itu, iman bisa juga tergoda untuk pindah ke bank konvensional," kata Adiwarman menjelaskan pola perilaku nasabah yang tidak terlalu loyal syariah.

Berdasarkan analisis BI, tren meningkatnya suku bunga pada triwulan ketiga tahun 2005 juga sempat membuat perbankan syariah menghadapi risiko pengalihan dana (dari bank syariah ke bank konvensional). Diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun dana nasabah dialihkan pada triwulan ketiga tahun lalu. Namun, kepercayaan deposan pada perbankan syariah terbukti dapat dipulihkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai Rp 2,2 triliun pada akhir tahun. Kenaikan akumulasi dana pihak ketiga perbankan syariah merupakan peluang, sekaligus tantangan, karena tanpa pengelolaan yang tepat justru masalah akan datang.

Perbankan syariah sempat dituding "kurang gaul" dalam lingkungan pembiayaan karena sejumlah nasabah yang dianggap bermasalah pada bank konvensional justru memperoleh pembiayaan dari bank syariah. Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia Wahyu Dwi Agung meyakini, dengan sistem informasi biro kredit BI yang memuat data seluruh debitor, tudingan seperti itu tidak akan terjadi lagi.

Posisi rasio pembiayaan yang bermasalah (non-performing financings) pada perbankan syariah tercatat naik dari 2,82 persen pada Desember 2005 menjadi 4,27 persen Maret lalu. Rasio ini dinilai masih terkendali.

Kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan perbankan syariah dan ketersediaan produk investasi syariah tidak akan optimal tanpa promosi dan edukasi yang memadai tentang lembaga keuangan syariah. Amat dibutuhkan pula jaminan produk yang ditawarkan patuh terhadap prinsip syariah.

Peluang dan potensi perbankan syariah yang besar memang menuntut kerja keras untuk kemaslahatan.

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain

  • Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
  • Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
  • Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
  • Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
  • Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya[1].

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:

  • Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
  • Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
  • Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah. (asuransi islam)
  • Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
  • Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

Laju pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.

Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.

Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.

Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.

Selain investor asing, penghimpunan dana perbankan syariah dari dalam negeri akan didongkrak penerapan office-channeling yang didasari Peraturan BI Nomor 8/3/PBI/2006. Aturan ini memungkinkan cabang bank umum yang mempunyai unit usaha syariah melayani produk dan layanan syariah, khususnya pembukaan rekening, setor, dan tarik tunai.

Sampai saat ini, office channeling baru digunakan BNI Syariah dan Permata Bank Syariah. Sejumlah 212 kantor cabang Bank Permata di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya sudah dapat melayani produk dan layanan syariah sejak awal Maret lalu. Sementara tahap awal office channeling BNI Syariah dimulai 21 April 2006 pada 29 kantor cabang utama BNI di wilayah Jabotabek. Ditargetkan 151 kantor cabang utama BNI di seluruh Indonesia akan menyusul.

General Manager BNI Syariah Suhardi beberapa pekan lalu menjelaskan, untuk memudahkan masyarakat mengakses layanan syariah, diluncurkan pula BNI Syariah Card. Kartu ini memungkinkan nasabah syariah menggunakan seluruh delivery channel yang dipunyai BNI, seluruh ATM BNI, ATM Link, ATM Bersama, dan jaringan ATM Cirrus International di seluruh dunia.

Hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah yang dilakukan BI tahun lalu menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang coba diatasi dengan office channeling.

Dana terhimpun juga akan meningkat terkait rencana pemerintah menyimpan biaya ibadah haji pada perbankan syariah. Dengan kuota 200.000 calon jemaah haji, jika masing-masing calon jemaah haji menyimpan Rp 20 juta, akan terhimpun dana Rp 4 triliun yang hanya dititipkan ke bank syariah selama sekitar empat bulan. Dana haji yang terhimpun dalam jumlah besar dalam waktu relatif pendek akan mendorong munculnya instrumen investasi syariah. Dana terhimpun itu bahkan cukup menarik bagi pebisnis keuangan global untuk meluncurkan produk investasi syariah.

Di sisi lain, suku bunga perbankan konvensional diperkirakan akan turun. Menurut Adiwarman, bagi hasil perbankan syariah yang saat ini berkisar 8-10 persen, membuat perbankan syariah cukup kompetitif terhadap bank konvensional. "Dengan selisih sekitar dua persen (dari tingkat bunga bank konvensional), orang masih tahan di bank syariah, tetapi lebih dari itu, iman bisa juga tergoda untuk pindah ke bank konvensional," kata Adiwarman menjelaskan pola perilaku nasabah yang tidak terlalu loyal syariah.

Berdasarkan analisis BI, tren meningkatnya suku bunga pada triwulan ketiga tahun 2005 juga sempat membuat perbankan syariah menghadapi risiko pengalihan dana (dari bank syariah ke bank konvensional). Diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun dana nasabah dialihkan pada triwulan ketiga tahun lalu. Namun, kepercayaan deposan pada perbankan syariah terbukti dapat dipulihkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga yang mencapai Rp 2,2 triliun pada akhir tahun. Kenaikan akumulasi dana pihak ketiga perbankan syariah merupakan peluang, sekaligus tantangan, karena tanpa pengelolaan yang tepat justru masalah akan datang.

Perbankan syariah sempat dituding "kurang gaul" dalam lingkungan pembiayaan karena sejumlah nasabah yang dianggap bermasalah pada bank konvensional justru memperoleh pembiayaan dari bank syariah. Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia Wahyu Dwi Agung meyakini, dengan sistem informasi biro kredit BI yang memuat data seluruh debitor, tudingan seperti itu tidak akan terjadi lagi.

Posisi rasio pembiayaan yang bermasalah (non-performing financings) pada perbankan syariah tercatat naik dari 2,82 persen pada Desember 2005 menjadi 4,27 persen Maret lalu. Rasio ini dinilai masih terkendali.

Kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan perbankan syariah dan ketersediaan produk investasi syariah tidak akan optimal tanpa promosi dan edukasi yang memadai tentang lembaga keuangan syariah. Amat dibutuhkan pula jaminan produk yang ditawarkan patuh terhadap prinsip syariah.

Peluang dan potensi perbankan syariah yang besar memang menuntut kerja keras untuk kemaslahatan.

Menurut saya apa yang dinamakan sistim perbankan syariah, bukanlah sebuah sistim perbankan Islam tetapi sebuah sistim perbankan konvevsional yang mengubah sistim bunga menjadi sistim jual beli dan bagihasil. Sebuah kegiatan ekonomi Islam harus bersumbae pada ekonomi Islam yang hanya bersumber pada Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad, bukan bersumber pada sistim ekonomi konvensional. Mengapa dikatakan bukan sistim perbankan Islam, karena summber acuannya yaitu ekonomi Islam itu belum ada. Yang ada baru berupa sinyalemen, yaitu ciri ciri, perbandingan dengan ekonomi konvensional, sehingga sosok Ekonomi Islam itu tidak jelas atau dapat dikatakan belum ada kesepakatan kita apa itu sosok Ekonomi Islam. Kondisi ini sangat berbahaya manakala sistim perbankan syariah ini, sudah mengklaim sebagai ekonomi Islam. Lihat Festival Ekonomi Syariah yang diadakan oleh Bank Indonesia, isinya perbankan melulu, yang merupakan bank konvensional yang mengubah sistim bunga menjadi sistin jual beli dan bagihasil dan masih mem"bench mark" bank konvensional.


Memindah Tangankan Hutang Finansial Kepada Orang Lain


Jadi hawalah diartikan sebagai perpindahan utang dari tanggungan pihak yang berhutang kepada pihak lain yang berkewajiban menanggungnya. Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, mudal atau muhtal, yakni orang yang berpiutang kepada muhil, serta muhalalaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul). Karena merupakan perpindahan utang, hawalah dibolehkan pada piutang yang tidak berbentuk barang / benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu hawalah bisa diterapkan pada uang atau kewajiban finansial.
Salah satu pihak yang bisa melakukan akad hawalah ini adalah lembaga keuangan syariah. Hawalah dapat digunakan dalam bentuk factoring / anjak piutang, dimana nasabah memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang tersebut kepada bank, sehingga bank akan membayar piutang nasabah dan menagih hutang kepada pihak ketiga tersebut.
Sebagai ilustrasi, perjanjian pengalihan hak dan kewajiban (piutang) nasabah (pihak pertama / muhil) kepada bank (pihak kedua/muhal) dari nasabah lain (pihak ketiga/ muhalalaih). Pihak pertama meminta bank untuk membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul, baik dari jual beli maupun transaksi lainnya. Setelah piutang tersebut jatuh tempo, pihak ketiga akan membayar kepada bank. Bank akan mendapatkan keuntungan dari upah pemindahan itu.
Ada beberapa ketentuan harus dijalankan dalam hawalah oleh LKS seperti perbankan syariah misalnya. Salah satunya menurut fatwa dewan syariah nasional majelis ulama Indonesia no: 12/DSN-MUI/IV/2000, pernyataan ijab qabul harus dinyatakan oleh semua pihak. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/ muhtal dan muhalalaih. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhalalaih; dan bank hak penagihan muhal berpindah kepada muhalalaih.
Lantas apa perbedaan antara hawalah dengan transaksi yang terjadi di bank syariah? Pada transaksi konvensional, bank membayar nasabah sebesar nilai piutang yang sudah di discounted di muka, dan bank menagih akseptor secara penuh. Sementara pada bank syariah, bank tetap membayar penuh pada nasabah, namun nasabah dikenai biaya administrasi.

Hal lainnya, pada bank konvensional, setelah pembayaran di-discounted di muka, nasabah masih dikenai biaya administrasi. Di samping juga pada bank konvensional, invoice yang telah jatuh tempo dapat diperjualbelikan dengan discounted, di bank syariah transaksi transaksi semacam itu dilarang. Terakhir, pada bank konvensional sebelum jatuh tempo piutang tersebut dapat diperjualbelikan lagi kepada pihak lain,(bahkan bisa beberapa kali pindah tangan) sedangkan di bank syariah transaksi semacam itu juga dilarang.
http://www.arafahgroup.com/bmt/bmt.php?act=artikel&act2=artikel%20selengkapnya&id=56